Jumat, 30 Oktober 2009

Mimpi Ibu Marry

Suatu hari seorang teman lama menelepon saya. Dia menceritakan kisah yang membuat hati saya tersentak lalu tergerak. Cerita tentang istri almarhum mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Menurut teman saya, ketika Pak Hoegeng masih hidup, dia pernah berjanji suatu hari kelak, jika punya uang, dia akan mengajak istrinya ke Hawai, Amerika Serikat. Mengapa Hawai? Karena mereka berdua begitu mencintai lagu-lagu “irama lautan teduh”.
Hoegeng dan Merry Roeslani, sang istri, sejak muda memang sangat menyukai musik hawaian. Kecintaan pada jenis musik tersebut mendorong mereka menghidupkan kembali kelompok musik Hawaian Seniors yang dulu pernah dibentuk Hoegeng semasa remaja. Mereka bahkan tampil sebulan sekali di TVRI dan merupakan program yag sangat diminati pada tahun 1970-an.
Namun apa mau dikata. Sebelum janji itu bisa dipenuhi, sang jenderal yang jujur dan sederhana itu lebih dulu dipanggih Tuhan. Hoegeng pergi selama-lamanya tanpa sempat mengajak sang istri menginjak pasir Waikiki Beach di Hawai yang terkenal itu. Hoegeng juga tak pernah sempat mengajak Merry melihat penari hula-hula asli di pulau tersebut. Karena itu, saya bisa membayangkan betapa sedih hati Ibu Merry. Bagi Anda yang mungkin lupa, selama menjadi Kapolri, Pak Hoegeng setiap akhir bulan tampil bermain musik Hawaian Seniors membawakan lagu-lagu irama lautan teduh. Duet Hoegeng dan Merry sanggup menyihir penonton televisi pada tahun 1970-an.
Bahkan penampilannya di TVRI waktu itu terus berlanjut walau Pak Hoegeng sudah pensiun. Hingga pada 1978, Hawaian Seniors “dicekal” tidak boleh tampil di TVRI oleh penguasa Orde Baru. Tidak jelas mengapa. Alasan “resminya” karena acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga pencekalan itu berkaitan dengan keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi 50” yang berisi kritikan keras terhadap Pak Harto.
Pencekalan terjadi setelah Pak Hoegeng, Ibu Merry dan Hawaian Seniors sepuluh tahun tampil menghibur di TVRI. Waktu yang cukup lama. Tetapi, percaya atau tidak, selama itu pula belum pernah sekalipun Ibu Merry menginjakkan kakinya di pasir Waikiki Beach yang terkenal itu. Padahal, sebagai Kapolri, Pak Hoegeng sudah pernah tiga kali bertugas ke Amerika dan sempat mampir di Hawai.
Ibu Merry tidak pernah ikut karena Pak Hoegeng memiliki prinsip yang sangat teguh : selama melakukan perjalanan dinas, istri dan anak-anak tidak boleh ikut “menumpang” fasilitas kantor. “Dia tidak pernah mengijinkan saya dan anak-anak memanfaatkan kesempatan menggunakan fasilitas dinas, “ ungkap Ibu Merry. “Sementara untuk beli tiket dengan uang sendiri kami tidak mampu.” Ironis memang. Sulit dipercaya ada orang sejujur Pak Hoegeng di negeri ini. Tak heran jika kemudian muncul idiom. Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang jujur. Polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng. Begitu jujurnya sampai ketika meninggal tak banyak harta benda yang dia tinggalkan untuk keluarganya. Bahkan setelah 32 tahun mengabdi di kepolisian, uang pensiun yang diterima Pak Hoegeng cuma Rp 10 ribu.
Kawan saya menilai kisah tentang Ibu Mery tersebut layak diangkat di Kick Andy. Agar banyak pihak terbuka matanya bahwa di negeri ini ada sebuah ironi. Ironi kehidupan seorang pejabat yang jujur dan seorang istri yang tabah.
Setelah mendengar kisah tentang Pak Hoegeng dan Ibu Merry, ada “panggilan” yang begitu kuat di dalam dada. Panggilan untuk mewujudkan mimpi Ibu Merry. Mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di Pantai Waikiki. Dalam usianya yang sudah di atas 80 tahun, mungkin ini permintaan terakhir yang akan dikenangnya sebelum Tuhan memanggilnya.
Tapi, jujur saja, saya sempat ragu apakah bisa mewujudkan mimpi tersebut. Terutama ketika mendengar cerita bahwa sudah dua kali Ibu Merry ditolak ketika mengajukan visa ke kedutaan besar Amerika Serikat. Tak ada penjelasan mengapa permohonannya ditolak. Sejak penolakan yang kedua, Ibu Merry sudah mengubur dalam-dalam impiannya untuk bisa melihat Hawai.
Saya mencoba menghubungi pihak kedutaan Amerika dan menjelaskan keinginan saya untuk membantu Ibu Merry guna mendapatkan visa. Saya berusaha menjelaskan siapa Pak Hoegeng dan kisah tentang mimpi Ibu Merry untuk bisa menginjakkan kaki di pulau yang selama ini hanya dikenalnya melalui gambar dan cerita-cerita orang.
Pihak kedutaan Amerika mengatakan tidak berjanji dapat mengabulkan permintaan saya itu. Mereka menegaskan adanya peraturan keras dari pemerintah Amerika yang tidak pandang bulu. Saya katakan kepada mereka saya bisa memahami dan tidak akan memaksa. Saya hanya ingin menyenangkan hati seorang wanita luar biasa yang selama hidupnya banyak mengalami kepahitan hidup. Apa salahnya di ujung hidupnya, sekali ini, dia dapat mereguk kebahagiaan. Apalagi ada kemungkinan ini adalah “last wish” atau permintaan terakhirnya.
Akhirnya, kisah tentang Pak Hoegeng, Hawaian Senior, dan Ibu Merry saya angkat di Kick Andy. Pada bagian akhir acara, kepada Ibu Merry saya tanyakan tentang apa keinginannya yang belum terwujud. Dengan suara pelan, sembari menghela nafasnya, Ibu Merry bercerita tentang kerinduannya untuk bisa ke Hawai. Kerinduan yang sudah dikuburnya.
Dua kali visanya ditolak dan keuangan yang terbatas, membuatnya pasrah. Dia juga harus mengubur impiannya untuk bertemu dengan sahabatnya Mukiana, perempuan asal Hawai, yang sangat dirindukannya. Sudah tiga puluh tahun lamanya mereka tidak berjumpa. Mukiana pernah tinggal di Indonesia selama enam tahun dan bersama-sama menari dan bernyanyi di acara Hawaian Seniors.
Di ujung acara Kick Andy saya menyambungkan hubungan telepon antara Keala Mohikana dan Ibu Merry. Tampak Ibu Merry terkejut mendapat sambungan langsung dengan sahabat yang dirindukannya itu. Ibu Merry lalu menanyakan kapan Keala Mohikana bisa ke Jakarta. Tapi, pada pertengahan pembicaraan, tiba-tiba Keana Mohikana muncul dari balik panggung. Ibu Merry tertegun seakan tak percaya. Sahabatnya itu kini berada tepat di depannya. Kedua wanita tua itu lalu saling berpelukan melepas rindu.
Belum sempat Ibu Merry meredakan rasa harunya, tiba-tiba Aditya, putra Ibu Merry, mengeluarkan visa dari kantongnya. Tuhan maha besar. Kedutaan Amerika kali ini meloloskan Ibu Merry dan juga Aditya untuk masuk wilayah Amerika. Mereka berdua mendapat visa!
Selesai sampai di situ? Belum. Kepada Ibu Mery, saya serahkan sebuah amplop. Isinya kemudian dibaca oleh Ibu Merry: tiket pulang pergi Jakarta-Hawai-Jakarta. Maka sempurnalah perjuangan saya, teman saya, dan Aditya untuk memberikan “hadiah” paling indah dalam hidup Ibu Merry, yakni kesempatan pergi ke Hawai.
Sejumlah penonton di studio tak kuasa menahan haru. Mereka menitikan air mata. Apalagi saat Aditya menunjukkan visa dan kemudian Ibu Merry menerima tiket ke Hawai yang dipersembahkan Surya Paloh, pemilik Metro TV.
Seusai rekaman Kick Andy, semalaman saya tidak bisa tidur. Hati rasanya bahagia sekali. Semua upaya dan jerih payah terbayar sudah. Kalau melihat ke belakang, rasanya semua itu tidak mungkin terjadi. Mulai dari upaya teman saya mendatangkan Mukiana ke Jakarta, usaha untuk mendapatkan visa yang sudah dua kali ditolak, sampai tiket ke Hawai pemberian Surya Paloh, semua berjalan tanpa hambatan. Tuhan maha besar.

Taken from -- kick andy

Kamis, 08 Oktober 2009

Tanpa Kesalahan

Pada tahun 1951, Bette Nesmith bekerja sebagai sekretaris di sebuah bank di Dallas. Ia berusia dua puluh tujuh tahun, sudah bercerai, dan mempunyai anak laki-laki berusia Sembilan tahun. Ia senang mendapat gaji $300 sebulan. Waktu itu jumlah tersebut cukup besar

Tapi ia mempunyai satu masalah bagaimana mesti memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuatnya saat mengetik dengan mesin tik listriknya yang baru. Ia pernah belajar mengetik dengan mesin tik manual., dan merasa terkejut melihat bahwa ia banyak sekali membuat kesalahan dengan mesin listrik itu. Sangat merepotkan kalau mesti menghapus semua kesalahan ketik itu dengan penghapus. Ia mesti mencari cara lain.

Bette mempunyai sedikit pengalaman dalam bidang seni, dan ia tahu bahwa yang menggunakan cat minyak biasanya menutupi kesalahan sapuan dengan polesan lagi. Maka Bette meramu suatu cairan untuk dioleskan ke kesalahan-kesalahan ketiknya. Ia menaruh di sebuah botol bekas kuteks.

Selama lima tahun Bette menyimpan teknik baru ini untuk digunakan sendiri. Tapi akhirnya sekretaris-sekretaris lain mulai memperhatikan botol kecilnya itu, dan minta dibuatkan juga. Jadi, Bette membuatkan beberapa botol untuk teman-temannya dan menamainya ”Tanpa kesalahan.”

Teman-temannya senang sekali dan mendorongnya agar mulai menjual produk tersebut. Bette melakukan pendekatan-pendekatan pada berbagai agen pemasaran dan perusahaan-perusahaan, termasuk IBM, tetapi mereka menolaknya. Namun, para sekretaris semakin banyak yang menyukai produknya, sehingga Bette menjadikan dapurnya sebagai pabriknya yang pertama, dan ia mulai menjual sendiri hasil ramuannya itu. Ia tidak berhenti dari pekerjaannya di siang hari, namun ia bekerja samapi jauh malam, bahkan subuh untuk mencampur dan mengemas produknya.

Pesanan-pesanan mulai berdatangan, dan ia menyewa seorang mahasiswa untuk membantu penjualan. Ini tidak mudah bagi mereka yang sama-sama belum berpengalaman. Para dealer sering mengatakan bahwa orang tidak akan mau menghapus salah ketik mereka dengan polesan saja. Berdasarkan data penjualan, mulai bulan Agustus 1959 sampai akhir April 1960, pendapatan total perusahaan Bette adalah $ 1.141 dan pengeluarannnya $ 1.217.

Tapi bette tidak menyerah. Ia mengambil pekerjaan sekretaris paruh waktu, sekedar untuk membeli bahan makanan, dan ia menabung $200 untuk membayar seorang ahli kima yang bisa mengembangkan formula yang cepat kering untuk produknya.

Formula baru itu ternyata menolongnya. Bette pun mulai berkeliling di seluruh negeri, menjual botol-botol putih kecilnya di mana pun. Kalau tiba di suatu kota, ia akan mengambil buku telepon lokal dan menghubungi setiap dealer peralatan kantor lokal. Ia juga berkunjung ke toko-toko dan meninggalkan selusin botol produknya kemudian pesannan mulai meningkat, dan perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Liquid Paper Corporation, pada tahun 1979, hasil penjualan botol-botol putih itu mencapai $3.5 juta per tahun, dan keseluruhan penjualannya meraih $38 juta. Pembelinya adalah Gilletette Company, dan harga pembeliannya adalah $47.5.

Jennifer Read Hawthone dan Marci Shimoff

Diadaptasi dari sebuah kisah di Bits & Pieces

Kontes Kecantikan

Sebuah perusahaan produk kecantikan yang sukses meminta orang-orang di suatu kota besar untuk mengirimkan surat singkat tentang wanita-wanita paling cantik yang mereka kenal, berikut foto wanita-wanita tersebut. Dalam beberapa minggu, ribuan surat masuk ke perusahaan tersebut.

Salah satu surat itu menarik perhatian para karyawan perusahaan tersebut, dan surat itu disampaikan kepada presiden direktur. Penulisnya adalah seorang anak lelaki yang berasal dari keluarga yang bercerai, dan tinggal di daerah kumuh. Berikut adalah cuplikan suratnya, setelah dikoreksi ejaannya :

Di ujung jalan, tidak jauh dari rumahku, tinggal seorang wanita cantik. Aku mengunjunginya setiap hari. Dia membuatku merasa menjadi anak paling penting didunia. Kami suka main checker dan dia mau mendengarkan masalah-masalahku. Dia bisa memahamiku, dan kalau aku pulang, dia selalu berseru padaku bahwa dia bangga akan diriku.

Si anak mengakhiri suratnya dengan berkata, “Di foto ini bisa dilihat bahwa dia adalah wanita yang paling cantik bagiku. Mudah-mudahan aku punya istri secantik dia nanti.”

Merasa terkesan oleh surat itu, sang presdir minta melihat foto wanita tersebut. Sekretarisnya menyodorkan foto seorang wanita tua yang sudah ompong, duduk dengan tersenyum di kursi roda. Rambutnya yang jarang dan beruban disanggul di belakang. Binar-binar di matanya menutupi kerut-kerut yang dalam di wajahnya.

“Kita tidak bisa menggunakan wanita ini,” kata sang presdir sambil tersenyum. “Sebab dia bisa menunjukkan pada dunia bahwa untuk menjadi cantik, orang tidak perlu memakai produk kita.”