Suatu hari seorang teman lama menelepon saya. Dia menceritakan kisah yang
membuat hati saya tersentak lalu tergerak. Cerita tentang istri almarhum mantan
Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Menurut teman saya, ketika Pak Hoegeng
masih hidup, dia pernah berjanji suatu hari kelak, jika punya uang, dia akan
mengajak istrinya ke Hawai, Amerika Serikat. Mengapa Hawai? Karena mereka
berdua begitu mencintai lagu-lagu “irama lautan teduh”.
Hoegeng dan Merry Roeslani, sang istri, sejak muda memang sangat menyukai
musik hawaian. Kecintaan pada jenis musik tersebut mendorong mereka
menghidupkan kembali kelompok musik Hawaian Seniors yang dulu pernah dibentuk
Hoegeng semasa remaja. Mereka bahkan tampil sebulan sekali di TVRI dan
merupakan program yag sangat diminati pada tahun 1970-an.
Namun apa mau dikata. Sebelum janji itu bisa dipenuhi, sang jenderal yang
jujur dan sederhana itu lebih dulu dipanggih Tuhan. Hoegeng pergi
selama-lamanya tanpa sempat mengajak sang istri menginjak pasir Waikiki Beach
di Hawai yang terkenal itu. Hoegeng juga tak pernah sempat mengajak Merry
melihat penari hula-hula asli di pulau tersebut. Karena itu, saya bisa
membayangkan betapa sedih hati Ibu Merry. Bagi Anda yang mungkin lupa, selama
menjadi Kapolri, Pak Hoegeng setiap akhir bulan tampil bermain musik Hawaian
Seniors membawakan lagu-lagu irama lautan teduh. Duet Hoegeng dan Merry sanggup
menyihir penonton televisi pada tahun 1970-an.
Bahkan penampilannya di TVRI waktu itu terus berlanjut walau Pak Hoegeng
sudah pensiun. Hingga pada 1978, Hawaian Seniors “dicekal” tidak boleh tampil
di TVRI oleh penguasa Orde Baru. Tidak jelas mengapa. Alasan “resminya” karena
acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga
pencekalan itu berkaitan dengan keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi
50” yang berisi kritikan keras terhadap Pak Harto.
Pencekalan terjadi setelah Pak Hoegeng, Ibu Merry dan Hawaian Seniors
sepuluh tahun tampil menghibur di TVRI. Waktu yang cukup lama. Tetapi, percaya
atau tidak, selama itu pula belum pernah sekalipun Ibu Merry menginjakkan
kakinya di pasir Waikiki Beach yang terkenal itu. Padahal, sebagai Kapolri, Pak
Hoegeng sudah pernah tiga kali bertugas ke Amerika dan sempat mampir di Hawai.
Ibu Merry tidak pernah ikut karena Pak Hoegeng memiliki prinsip yang sangat
teguh : selama melakukan perjalanan dinas, istri dan anak-anak tidak boleh ikut “menumpang”
fasilitas kantor. “Dia tidak pernah mengijinkan saya dan anak-anak memanfaatkan
kesempatan menggunakan fasilitas dinas, “ ungkap Ibu Merry. “Sementara untuk
beli tiket dengan uang sendiri kami tidak mampu.” Ironis memang. Sulit dipercaya
ada orang sejujur Pak Hoegeng di negeri ini. Tak heran jika kemudian muncul
idiom. Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang jujur. Polisi tidur, patung
polisi dan Hoegeng. Begitu jujurnya sampai ketika meninggal tak banyak harta
benda yang dia tinggalkan untuk keluarganya. Bahkan setelah 32 tahun mengabdi
di kepolisian, uang pensiun yang diterima Pak Hoegeng cuma Rp 10 ribu.
Kawan saya menilai kisah tentang Ibu Mery tersebut layak diangkat di Kick
Andy. Agar banyak pihak terbuka matanya bahwa di negeri ini ada sebuah ironi. Ironi
kehidupan seorang pejabat yang jujur dan seorang istri yang tabah.
Setelah mendengar kisah tentang Pak Hoegeng dan Ibu Merry, ada “panggilan”
yang begitu kuat di dalam dada. Panggilan untuk mewujudkan mimpi Ibu Merry.
Mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di Pantai Waikiki. Dalam usianya yang sudah
di atas 80 tahun, mungkin ini permintaan terakhir yang akan dikenangnya sebelum
Tuhan memanggilnya.
Tapi, jujur saja, saya sempat ragu apakah bisa mewujudkan mimpi tersebut. Terutama ketika mendengar cerita bahwa
sudah dua kali Ibu Merry ditolak ketika mengajukan visa ke kedutaan besar
Amerika Serikat. Tak ada penjelasan mengapa permohonannya ditolak. Sejak
penolakan yang kedua, Ibu Merry sudah mengubur dalam-dalam impiannya untuk bisa
melihat Hawai.
Saya mencoba menghubungi pihak kedutaan Amerika dan menjelaskan keinginan
saya untuk membantu Ibu Merry guna mendapatkan visa. Saya berusaha menjelaskan
siapa Pak Hoegeng dan kisah tentang mimpi Ibu Merry untuk bisa menginjakkan
kaki di pulau yang selama ini hanya dikenalnya melalui gambar dan cerita-cerita
orang.
Pihak kedutaan Amerika mengatakan tidak berjanji dapat mengabulkan
permintaan saya itu. Mereka menegaskan adanya peraturan keras dari pemerintah
Amerika yang tidak pandang bulu. Saya katakan kepada mereka saya bisa memahami
dan tidak akan memaksa. Saya hanya ingin menyenangkan hati seorang wanita luar
biasa yang selama hidupnya banyak mengalami kepahitan hidup. Apa salahnya di
ujung hidupnya, sekali ini, dia dapat mereguk kebahagiaan. Apalagi ada
kemungkinan ini adalah “last wish” atau permintaan terakhirnya.
Akhirnya, kisah tentang Pak Hoegeng, Hawaian Senior, dan Ibu Merry saya
angkat di Kick Andy. Pada bagian akhir acara, kepada Ibu Merry saya tanyakan
tentang apa keinginannya yang belum terwujud. Dengan suara pelan, sembari
menghela nafasnya, Ibu Merry bercerita tentang kerinduannya untuk bisa ke
Hawai. Kerinduan yang sudah dikuburnya.
Dua kali visanya ditolak dan keuangan yang terbatas, membuatnya pasrah. Dia
juga harus mengubur impiannya untuk bertemu dengan sahabatnya Mukiana,
perempuan asal Hawai, yang sangat dirindukannya. Sudah tiga puluh tahun lamanya
mereka tidak berjumpa. Mukiana pernah tinggal di Indonesia selama enam tahun
dan bersama-sama menari dan bernyanyi di acara Hawaian Seniors.
Di ujung acara Kick Andy saya menyambungkan hubungan telepon antara Keala
Mohikana dan Ibu Merry. Tampak Ibu Merry terkejut mendapat sambungan langsung
dengan sahabat yang dirindukannya itu. Ibu Merry lalu menanyakan kapan Keala
Mohikana bisa ke Jakarta. Tapi, pada pertengahan pembicaraan, tiba-tiba Keana
Mohikana muncul dari balik panggung. Ibu Merry tertegun seakan tak percaya.
Sahabatnya itu kini berada tepat di depannya. Kedua wanita tua itu lalu saling
berpelukan melepas rindu.
Belum sempat Ibu Merry meredakan rasa harunya, tiba-tiba Aditya, putra Ibu
Merry, mengeluarkan visa dari kantongnya. Tuhan maha besar. Kedutaan Amerika
kali ini meloloskan Ibu Merry dan juga Aditya untuk masuk wilayah Amerika. Mereka
berdua mendapat visa!
Selesai sampai di situ? Belum. Kepada Ibu Mery,
saya serahkan sebuah amplop. Isinya kemudian dibaca oleh Ibu Merry: tiket
pulang pergi Jakarta-Hawai-Jakarta. Maka sempurnalah perjuangan saya, teman
saya, dan Aditya untuk memberikan “hadiah” paling indah dalam hidup Ibu Merry,
yakni kesempatan pergi ke Hawai.
Sejumlah penonton di studio tak kuasa menahan haru. Mereka menitikan air
mata. Apalagi saat Aditya menunjukkan visa dan kemudian Ibu Merry menerima
tiket ke Hawai yang dipersembahkan Surya Paloh, pemilik Metro TV.
Seusai rekaman Kick Andy, semalaman saya tidak bisa tidur. Hati rasanya
bahagia sekali. Semua upaya dan jerih payah terbayar sudah. Kalau melihat ke
belakang, rasanya semua itu tidak mungkin terjadi. Mulai dari upaya teman saya
mendatangkan Mukiana ke Jakarta, usaha untuk mendapatkan visa yang sudah dua
kali ditolak, sampai tiket ke Hawai pemberian Surya Paloh, semua berjalan tanpa
hambatan. Tuhan maha besar.
Taken from -- kick andy
2 komentar:
Bu Marry siapa, tuh .... btw it's Nice Blog!
Tukeran link ya ... aq taro link-mu di BlogKu
Trims
Wah, bacanya nggak fokus nech.. hehe.. Bu merry itu istrinya Pak Hoegeng bos.. :)
Alhamdulillah.. makasi.. makasi.. soto semangkuk deh.. \m/
Boleh.. boleh.. tar ku taruh blog roll dah.. thx u.. :)
Posting Komentar